Pada hari Jumat, 17 April 2015 lalu tidak seperti biasanya,
aku memasak. Pagi itu, mama masuk rumah dengan terburu-buru dan menghampiriku
yang sedang menonton televisi.
“Mama tadi diajak nenekmu ke nujuh wulan teh Sari. Jadi kamu hari ini masak ya!” kata mama lalu
meletakan keranjang belanja berisi sayur yang dibelinya dari warung di atas
meja di depanku, lalu langsung masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.
“Ha?” aku pura-pura tidak mendengar. Setelah sekian detik
tidak ada jawaban aku bertanya lagi, “Bumbunya apa aja, ma?”, lalu “Mama
bikinin bumbunya, dong!”
Kulihat mama melihatku namun tak memberi jawaban apa pun.
Mungkin dalam hatinya mama berujar, “Yaampun
ini anakku udah umur 20 tahun lebih kalo disuruh masak pasti tanya bumbunya apa
sama minta dibikinin bumbunya -_-“
Mama lalu pergi bersama kedua adik kembarku, Alfa dan Falah
ke acara syukuran kehamilan teh Sari, salah satu keponakannya, yang ke tujuh
bulan.
~
Setelah mereka pergi, barulah kuihat isi keranjang belanja
mama. Isinya ternyata sayur campur berupa oncom, daun melinjo muda, sepotong
labu air, tauge dan wortel. Aku lalu membawanya ke dapur. Setelah mencuci dan
memotong-motongnya, tibalah saat dimana aku harus meracik bumbu untuk sayur
campur itu: hal yang paling tidak (belum) bisa kulakukan.
Aku melihat tempat bumbu-bumbu dapur biasa diletakan. OMG!!
Ternyata disana hanya tersisa bawang putih, tomat, cabai rawit, cabai merah,
kemiri dan sepotong jahe! Apa-apaan ini?? Mana bawang merahnya?!
Pikirku.
Sejujurnya, selain jarang memasak, aku juga sangat jarang ke
warung. Warung terdekat dari rumah (persis di sebelah kanan rumahku) tidak
menjual sayur dan bumbu dapur basah. Warung yang menjual sayur dan bumbu dapur
basah tempat biasa mama beli jaraknya cukup jauh dari rumah. Aku jadi agak
malas untuk kesana. Apesnya lagi saat aku ke warung sebelah untuk membeli bumbu
dapur instan, ternyata semua anggota keluarga pemilik warung sedang keluar
rumah dan otomatis warung ditutup. Aku kembali ke rumah dengan lesu.
Aku melihat kembali tempat bumbu-bumbu dapur biasa
diletakan. Oke, mau tidak mau, enak tidak enak aku akan memasak dengan
bumbu-bumbu yang ada. Aku memutuskan menggunakan satu siung besar bawang putih,
dua buah cabai merah, tiga buah cabai rawit merah, sepotong (kurang lebih ½ cm)
jahe, beberapa butir kemiri (kurasa 4 butir) dan satu buah tomat ukuran sedang.
Terserah itu akan membuat masakanku enak
atau tidak, yang terpenting aku sudah memasaknya, pikirku. Disela aku
meracik bumbu, kulihat ada dua potong tempe di atas rak. Aku mengambilnya, lalu
memotongnya dan kubagi menjadi dua jenis potongan. Potongan pertama seperti
untuk orek tempe, yang akan digunakan sebagai campuran tumis sayur campur yang
bumbunya sedang kubuat. Potongan kedua untuk digoreng seperti tempe mendoan, hanya
saja tak bertepung. Kusiapkan air garam juga untuk tempe yang hendak kugoreng itu
agar rasanya tidak hambar.
Bumbu sudah siap, tempe untuk kugoreng juga sudah tercelup
di air garam. Saatnya aku masak!
Tapi tiba-tiba, di saat aku sudah bersiap untuk memanaskan wajan, papa pulang
dari pasar. Kulihat ia membawa dua kantong plastik hitam yang ternyata di
dalamnya berisi ikan lele di satu kantong, cabai merah dan cabai rawit di
kantong lainnya. Tunggu.. What?! Mana
bawang merahnya?! pikirku.
“Nih dicuci trus langsung dimasak ya!” kata papa sambil
menyerahkan dua kantong itu kepadaku.
“Gak beli bawang merah, pa?”
“Nggak. Harganya mahal, seperempatnya delapan ribu lebih.
Udah masak dengan bumbu seadanya aja, ya!”
“Heem..” kataku lalu bergegas untuk menyimpan cabai merah
dan cabai rawait itu ketempatnya. Aku mengambil baskom untuk mencuci ikan lele,
memasukan lele-lele itu beserta air kedalamnya.
Aku agak bingung. Itu pertama kalinya aku mencuci ikan lele.
Karena lele tidak bersisik, apa yang harus aku bersihkan? Saat itu aku lupa
bahwa bagian dalam ikan (jeroan) biasanya berasa pahit dan harus dikeluarkan.
Itu adalah salah satu kesalahan memasakku di hari Jumat itu dimana jeroan ikan
lele itu sama sekali tidak kubuang. Pada waktu itu aku hanya mencucinya
beberapa kali agar tidak terlalu berlendir dan licin. Setelah kurasa bersih,
aku mengeluarkan semua air yang ada di baskom ikan lele lalu menaburkan garam
kedalamnya. Aku lalu menampiknya agar garam bisa merata ke semua ikan lele
itu. Kunyalakan kompor, kutempatkan wajan di atasnya dan kutuangkan minyak
goreng kedalam wajan.
Haah..akhirnya semuanya
siap untuk dimasak!, batinku.
Proses memasak sebenarnya tidak sulit. Seperti yang telah
kuungkapkan di atas, bahwa kelemahanku adalah aku tidak bisa meracik bumbu, itu saja, pikirku saat itu. Mungkin akan
lain cerita jika bumbu di dapur rumahku komplit, aku bisa saja mencotek resep
tumis sayur campur yang ada di internet.
Aku menunggu minyak goreng itu panas. Ketika kurasa panas,
aku teringat kata mama, bahwa minyak goreng bekas menggoreng ikan akan lebih
keruh daripada bekas menggoreng tahu dan tempe. Aku tidak mau tempe gorenganku
(yang mungkin saja tidak gosong) berwarna gelap hanya karena aku menggorengnya
dengan minyak pasca menggoreng ikan. Jadi aku memilih menggoreng tempe terlebih
dahulu, baru menggoreng ikan lele.
~
fried tempeh that I made :) |
Selesai menggoreng tempe, aku menambahkan minyak kedalam wajan saat kulihat minyak
goreng di wajan itu hanya tinggal sedikit, lalu menunggunya kembali panas. Tak lama berselang aku sudah memasukan lima ekor lele kedalamnya.
Ahh! Mengapa lele-lele
itu bergelung, melingkarkan tubuhnya!? tanyaku kesal dalam hati. Seingatku,
itu juga pertama kalinya aku menggoreng ikan lele. Jadi aku agak bingung dan
panik. Kalau begitu bagaimana cara untuk membalik bagian dalam gelungan lele
itu??, pikirku.
Aku tipikal orang yang tidak bisa diam. Saat memasak apa pun, aku suka
sekali membolak-balikannya. Kamu kalo
masak kayak anak-anak main masak-masakan, dibolak-baliik terus, begitu komentar mama tentang gaya memasakku. Padahal kata mama juga, kalau memasak ikan jangan dulu dibalik sebelum bagian
bawahnya benar-benar kering karena kalau tidak kulit ikan tersebut akan mengelupas atau bahkan badan ikan akan hancur. Di hari itu, aku mengabaikan
nasihat memasak mama itu (lagi). Aku mencoba membalik ikan itu namun hanya
setengah bagian badannya yang terangkat, setengahnya lagi masih menempel di
wajan. OMG!! Ya Gusti.. Gimana nihh???
Hasil gorengan ikan lele yang pertama hancur, ikan lele-lele
itu tidak berbentuk seperti lele yang ada di warung pecel lele di pinggir
jalan. Beberapa kepala ikan lele itu terlepas dari badannya. Sebagian jeroannya
malah berhambur keluar dari tubuh sang lele. Saat itu aku baru ingat harusnya
aku membuang jeroannya! Namun saat kuiingat bukannya membersihkannya terlebih
dahulu, aku malah melanjutkan menggoreng. Kupikir orang yang nanti makan lele
gorenganku juga pasti bisa memisahkan lele dengan jeroannya yang terasa pahit
itu : satu kesalahan mamasakku yang berikutnya.
Aku melanjutkan menggoreng ikan lele. Sebisa mungkin aku
berusaha menahan diri untuk tidak membaliknya agar bentuk
ikan lele itu tetap utuh.
Berhasil. Gorengan ikan lele berikutnya meski bergelung tapi berbentuk utuh,
namun ternyata..setelah lama ditiriskan nampaklah bahwa ikan lele gorenganku
itu masih agak basah atau tidak terlalu kering. Sudah matang sih, tapi biasanya
mamaku menggorengnya hingga kering dan itu menurutku lebih baik dan lebih enak
untuk dimakan. Sayangnya, aku baru menyadarinya saat aku sedang menumis bumbu
untuk sayur campur buatanku.
~
ini lele hasil gorenganku :) |
Last one but the least adalah menumis sayur campur. Setelah
bumbu tumisnya harum, aku memasukan sayur-mayur itu kedalam wajan, mengaduknya
hingga rata dengan bumbu, barulah menambahkan air kedalamnya dan mengaduknya
lagi. Kata mamaku begitu, jadi kalau sayuran berair seperti sayur campur itu
ditumis, masukan sayurnya terlebih dahulu setelah bumbunya masak barulah
masukan air, agar bumbu tumisnya lebih meresap ke sayur yang kita masak,
katanya.
Sambil menunggu sayur matang aku mencicipi tempe goreng dan
ikan lele goreng buatanku. Menurutku rasa asinnya pas, hanya saja tekstur ikan
lele yang tidak terlalu kering agak membuatku sebal. Yasudahlah, aku sudah berusaha menggorengnya, kalau ada yang tidak mau
ya biar saja hanya aku yang makan, pikirku. Setelah tumis sayur campur itu
matang aku membawanya ke meja makan dan menutupinya dengan tudung. Aku lalu kembali ke ruang keluarga untuk menonton televisi.
tumis sayur campur buatanku :) |
Aku baru saja menyalakan televisi ketika kudengar kedua
adik kembarku saling berteriak, mungkin sedang memperebutkan sesuatu. Mereka
sudah pulang.
“Assalamu’alaikum.. Wah, sepi banget. Nurul belum pulang ya?
Masaknya udah belum, teh?” tanya mamaku.
“Wa’alaikum salam.. Iya, Nurul belum pulang, kalo masak sih
udah ma”
“Cie.. anak mama hari ini masak nih.. hehe.. Nih dimakan..”
kata mama sambil menyerahkan rujak buah khas acara nujuh wulan di daerahku. Aku menerima lalu memakannya sementara mama
berganti pakaian, ia lalu mengajak
adik-adikku keluar rumah, mungkin ke rumah nenek yang ada di seberang rumahku.
~
Ketika aku sedang makan rujak buah, tiba-tiba nenekku datang
ke rumah sambil menenteng satu kantong plastik hitam.
“Nih ada burung
dara muda yang hampir mati gara-gara mau
dimakan kucing
tapi gak sampe mati.. Udah disembelih sama kakekmu. Dimasak ya, May! Nenek lagi gak
enak badan buat masaknya.”
Aku sempat bengong melihat burung itu. What?? Bagaimana cara memasaknya?
“Mama ada di rumah nenek ya?”
“Iya. Udah cepet sana dimasak! Dibakar aja.. ada gak
arangnya?”
Boro-boro arang,
minyak sayur aja udah abis, jawabku dalam hati namun kujawab “Iya ada.
Nanti aku tinggal masak sama kayu aja di belakang”
“Yaudah nenek pulang ya..”
Nenekku lalu pergi meninggalkanku bersama burung dara yang
diperintahkannya untuk dimasak.
Ini juga pertama kalinya juga aku memasak burung dara. Hmm..
ayam juga belum pernah sih kalau dimulai dari mencucinya. Saat itu aku langsung
berfikir untuk memasak air menggunakan tungku kayu yang ada di belakang rumah.
Seingatku setelah membersihkan darah yang tampak dengan air dingin, mama biasa
merendam ayam di air hangat agar bulu-bulu yang ada di badannya mudah dicabut.
Aku akan mengikuti langkah-langkah itu.
Setelah api di tungku berhasil kubuat, aku mencuci burung
dara itu, membersihkan darah yang ada di lehernya. Tak kusangka, pada saat
mencucinya aku mencoba mencabut bulunya dan ternyata bisa! Mungkin karena
burung dara itu masih muda, sehingga bulu-bulunya mudah untuk dicabut.
Mulailah kucabuti bulu-bulu yang ada di badannya hingga bersih.
Setelah kupikir bersih, aku menyayat bagian dada burung
dara itu, untuk mengambil jeroannya lalu kubersihkan juga jeroan itu. Kubuang
bagian kerongkongan dan ususnya yang masih sangat kecil karena kulihat
warnanya agak kehitaman, bagian itu kurasa terasa pahit sehingga aku
membuangnya. Setelah bersih total aku kembali ke tungku. Semula aku berniat
memanggangnya begitu saja, namun setelah kulihat bara apinya masih sangat sedikit
aku urungkan niat itu.
Aku lalu membawa burung dara yang siap masak itu kembali ke
dalam rumah. Seperti yang tadi kukatakan, di dapurku sedang ‘tidak ada apa
pun’. Maka aku memutuskan untuk mengungkepnya hanya dengan bawang putih satu
siung besar, cabai rawit > 20 buah (aku lupa tepatnya) dan garam. Aku
mencari-cari merica bubuk di meja makan yang seingatku masih ada. Ternyata
benar masih ada. Merica bubuk itu aku dapat dari kuis #KejutanRasa
yang diselenggarakan oleh Jelajah Rasa pada
akhir Agustus 2014 lalu
yang aku ikuti. Merica
bubuk, cuka, bumbu
Ayam Goreng Rempah, baking powder,
dan beberapa bumbu dapur Koepoe-Koepoe lainnya yang
merupakan merchandise yang diberikan Jelajah Rasa.
Aku lalu menumis bumbu ungkep yang tadi aku buat di wajan.
Setelah harum dan agak menusuk hidung (hingga membuatku terbatuk-batuk), aku
memasukan air kedalamnya, menunggunya hingga mendidih, lalu kumasukan burung
dara muda itu kedalamnya. Kububuhkan merica bubuk di atas ayam itu. Aku
sebenarnya belum tahu banyak tentang memasak dengan cara ungkep ini. Aku hanya
pernah sekali membaca resep yang ada di kemasan bumbu racik Koepoe-Koepoe yang
kuingat. Kutunggu airnya tinggal sedikit dan bumbu ungkep buatanku meresap ke
dalam daging si burung dara.
Aku mencicipi kuahnya. Rasanya enak dan pedas sekali. Kalau
begini pasti hanya aku dan mama yang mau makan karena papa dan adik-adikku
tidak suka pedas. Aku lalu ingat bahwa di meja makan tadi juga masih ada cuka
dari Jelajah Rasa. Aku ingat kata mama, bahwa rasa asam pada cuka bisa
menetralisasi rasa pedas. Aku pun mengambilnya dan menambahkan satu sendok cuka
pada air ungkepan itu. Setelah diaduk, ternyata benar. Rasa air ungkepan itu
kini tidak begitu pedas dan ada rasa asam segar saat mencobanya. Aku lalu
menambahkan telur ayam yang aku pecahkan di pinggirnya.
Rencana awal ingin membuat burung dara bakar atau burung
dara goreng-ungkep gagal karena pada akhirnya, aku malah membuat ‘kari burung
dara dan telur’ yang bahan-bahannya disesuaikan dengan kondisi
bumbu dan rempah di dapurku. berkat bumbu racik buatanku yang ditambahkan lada bubuk dan
cuka dari Jelajah Rasa, rasanya
jadi enak sekali, asam pedas segar. Tekstur burung
dara yang empuk hingga ke tulangnya membuat adikku bahkan memakan daging burung dara hingga ke tulangnya.
~
kari burung dara dan telur made by chef Mae ^^ |
Pada akhirnya masakan yang aku
buat dari mulai tempe goreng, ikan lele goreng, tumis sayur campur hingga kari
burung dara dan telur semuanya itu terasa enak (menurutku). Keluargaku juga ikut memakannya (mungkin
karena tidak ada makanan lain :D). Aku jadi sangat puas karena telah memasak
untuk keluargaku di hari itu (semoga kedepan aku bisa lebih sering dan lebih
jago memasak!). Meski di hari itu aku memasak sendiri dan memiliki banyak
keterbatasan tapi memasak di hari itu sungguh hal yang
menyenangkan sekali :D
***
updated:
maaf kalau foto2nya kurang bagus hape saya kurang bagus soalnya..hehe
maaf juga fotonya kurang banyak dan waktu proses memasak tidak saya foto karena saya tidak sempat foto2 sambil memasak :):)
0 comments:
Post a Comment