allpostersimages.com |
Di awal bulan Juni 2016 atau tepatnya di bulan Ramadan 1437 Hijriyah ini ibu kota provinsi Banten, kota Serang ramai diperbincangkan di berbagai media. Penyebabnya karena insiden Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menyita makanan yang dijual oleh seorang ibu warung makan yang menjual makanannya di siang hari di bulan Ramadan. Dengan dasar Peraturan Daerah (Perda) Kota Serang yang mengatur kegiatan yang dilarang di bulan Ramadan, para petugas Satpol PP itu mengambil barang dagangan sang ibu warung untuk dijadikan barang bukti pelanggaran.
Sebagai warga kota Serang, saya merasa malu dan sedih sekali dengan pemberitaan ini. Mengapa kota tempat saya tinggal ini bisa terkenal karena kasus seperti itu? Kasus tersebut amat mencemari kerukunan antarumat beragama di kota saya yang sebelumnya saya rasa baik-baik saja. Seolah-olah dengan Perda itu umat Islam tidak memberikan izin kepada umat agama selain Islam yang tidak berpuasa untuk makan di luar. Padahal tidak begitu. Tidak ada yang salah dengan Perda yang sudah berlaku hampir 6 tahun tersebut. Bagi kami sudah sangat biasa warung makan tutup di pagi hingga siang hari di bulan puasa dan baru boleh melayani pembeli di waktu menjelang berbuka hingga malam hari. Di bulan suci bagi umat Islam ini justru akan tampak sangat aneh jika ada warung makan yang secara terang-terangan dibuka. Oleh karena itulah pemeritah mengukuhkannya sebagai Perda. Perda adalah aspirasi masyarakat di daerah tempat Perda itu berlaku dan itulah aspirasi masyarakat kota Serang.
Penjual makanan dan minuman tidak merugi. Justru bisa meningkatkan omzet penjualan karena kami punya budaya buka puasa bersama (bukber) yang seringnya diadakan di luar rumah, suatu hal yang amat jarang kami lakukan di bulan-bulan yang lainnya. Teman-teman saya yang Non-Islam (noni) juga biasa ikut acara bukber atau berburu jajanan khas Ramadan juga dan kami tidak merasa keberatan. Mereka juga tidak keberatan warung tidak buka di siang hari di bulan puasa karena jika mereka tidak sanggup memasak makanannya sendiri (seperti untuk orang sakit dan penghuni kos/kontrakan sederhana) biasanya mereka sudah menyiapkan makanan di sore hari sebelumnya. Ada juga biasanya ibu kos yang menyediakan sarapan untuk anak kosnya yang noni. Perda itu sama sekali bukan masalah bagi kami. Kami saling menghormati dan menghargai.
Mayoritas masyarakat Serang beragama Islam. Kebanyakan perempuan disini juga berkerudung, mulai dari anak-anak hingga para perempuan dewasa. Disini kerudung sudah seperti satu budaya (culture). Perempuan Islam yang tidak memakai kerudung saat bepergian akan tampak aneh/tidak biasa. Disamping itu, disini juga ada masyarakat yang memiliki keyakinan lain, seperti Kristen, Katolik, Konghucu, Buddha dan Hindu. Semua agama yang diakui di negara ini ada dalam masyarakat kami. Karena memiliki komunitasnya, hampir tiap agama juga memiliki rumah ibadah dan sekolah agama masing-masing di kota ini. Rasanya kami ‘cuek’ saja dengan keyakinan tiap orang. Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku, ayat Al-Quran itu sepertinya menjadi pegangan bagi kami disini. Di hari minggu, saya cukup sering satu angkutan kota (angkot) dengan penumpang yang membaca Alkitab. Rasanya salut sekali, orang itu tampak begitu taat dengan agamanya, memotivasi saya untuk taat juga menjalankan agama saya.
Di silabus, pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri kami menggunakan Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai rujukan pembelajaran. Teman-teman yang noni yang bersekolah di sekolah umum bebas mau ikut belajar PAI di kelas atau tidak. Jika tidak ikut pelajaran PAI di kelas, mereka diwajibkan belajar agama di rumah ibadah. Ketika ujian agama, teman-teman yang noni mendapat soal khusus yang kalau tidak salah dikirimkan dari rumah ibadah mereka. Jadi kami mengerjakan soal pelajaran agama sesuai keyakinan kami masing-masing. Tidak ada yang keberatan dengan sistem ini karena di sekolah umum (negeri) biasanya hanya ada sedikit murid noni dan akan terasa ‘tanggung’ jika tiap kelas/tingkat memiliki jam pelajaran agama masing-masing sesuai keyakinannya.
Kasus razia warung makan di siang hari di bulan Ramadan di kota Serang itu terlalu dibesar-besarkan. Penutupan warung makan saat siang hari di bulan puasa disini bukan hanya berlaku untuk warung-warung kecil saja, tapi restoran dan café juga mendapat perlakukan yang sama. Pemberlakukan Perda itu juga bukan karena kami akan tergoda jika tempat makan tersebut buka, saya pikir ini hanya untuk harmonisasi saja. Sama seperti Perda larangan berjualan di hari minggu di beberapa kota di Papua. Saya yakin bahwa Perda di Papua itu diterapkan bukan karena masyarakat Kristiani disana memiliki iman yang lemah sehingga aktivitas perjualan ditiadakan, tapi untuk mengharmonisasikan Ibadah Minggu yang mereka lakukan. Begitu pun dengan kami. Masyarakat kita sudah cukup dewasa untuk dapat saling menghormati satu sama lain. Untuk apa mempermasalahkan hal yang kita tidak tahu bagaimana kondisi sebenarnya?
Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang
diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa.
0 comments:
Post a Comment