Saturday, November 26, 2016

About death

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un
Sesungguhnya semua milik Allah dan akan kembali pada Allah.

Death is uncertainty certainty
Maut adalah kepastian yang tidak pasti.

Dalam beberapa waktu belakangan, ada dua orang paling saya sayang yang lebih dulu menghadapNya.
Pertama adalah guru agama saya ketika SMP, pak Mudrik namanya. Beliau adalah guru muatan lokal (Mulok) Baca Tulis Quran (BTQ) sewaktu saya kelas 9. Beliau juga guru pembimbing ekskul kaligrafi.
Tulisan beliau, baik arab maupun latin memang sangat indah. Berbagai gaya tulisan arab beliau kuasai. Beliau biasa diminta tolong oleh guru lain untuk menulis jadwal piket, jadwa pelajaran, caution, dll yang biasa ditempel di dalam dan di sekitar kelas dan sekolah. Beliau juga orang yang biasa menulis berbagai kaligrafi yang ada di berbagai masjid di kota Serang.
Ada satu memori yang tak terlupa bersama beliau, yakni ketika saya bersama Piah dan Lilip, dua teman kelas saya sebagai satu tim mengikuti acara cerdas cermat agama Islam, bersaing dengan perwakilan dari kelas lain. Di acara itu, pak Mudrik berlaku sebagai pembaca soal sekaligus pembuatnya.
Saat itu yang paling berkesan adalah pertanyaan dengan isi yang sama dengan kalimat pembuka di atas, yakni Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, saat itu pak Mudrik baru selesai membacakan kalimat itu, belum membaca soalnya, lalu tiba2 dari tim kelas lain yang diketuai Nugraha menjawab, “Doa ketika ada orang yang kecelakaan atau mendapat musibah”.
“Salah”, kata pak Mudrik “Pertanyaanya belum saya bacakan”.
Kemudian beliau mengulang kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un yang kemudian diiringi dengan pertanyaan “..adalah kalimat yang disebut?”
Waktu itu tidak ada yang menjawab. Saya sebelumnya juga mengira jawabannya sama dengan jawaban yang disuarakan oleh Nugraha. Tapi ternyata itu jawaban yang salah.
Tidak ada yang menjawab. Pak Mudrik melihat seluruh peserta dan juga hadirin, lalu memberitahukan jawabannya bahwa Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un disebut kalimat istirja’.
Itu adalah salah satu ilmu yang saya dapat dari beliau. Masih ada banyak, banyak sekali ilmu yang saya peroleh dari beliau.
Kepergian beliau yang terasa mendadak, karena saya hanya tahu ketika beliau telah tiada benar2 membuat saya kaget. Beliau masih cukup muda. Mungkin lebih muda dari Bapa saya. But death is uncertainty certainty, kematian adalah kepastian yang tidak pasti. Ia pasti datang. Tapi kita tidak tahu pasti kapan ia akan datang.
Selang beberapa bulan setelah pak Mudrik meninggal dunia, pada malam hari ini 25 November 2016, salah satu mamang, mang Mamun, adik mama saya meninggal dunia.
statusmind.com
Saya biasa memanggilnya dengan tanpa jeda, Mamamun atau Kamamun, begitu saya memanggilnya.
Usianya sekarang mungkin 25-26 tahun. Dulu kita sempat satu SD, lalu bersekolah satu SMP hingga satu SMK. Di sekolah kita selisih 2 tahun, saat ia kelas 3 saya kelas 1.
Mamamun orang yang sangat baik dan juga pendiam. Sepertinya setiap saya minta tolong pasti selalu diusahakannya untuk membantu. Namun saya hampir selalu segan terhadapnya, kadang juga malu, entahlah. Saya hanya merasa saya tidak boleh meminta bantuannya terlalu sering, kecuali ketika sedang terdesak.
Ramadan lalu adalah Ramadan pertama dan terakhir baginya menggunakan Mushola yang baru dibangun di belakang rumahnya yang juga rumah kakek nenek saya. Ia selalu menjadi muadzin disana dan di Mushola kami sebelumnya. Selesai sholat tarawih, biasanya hanya ada saya, dia, Niah (bibi kecil saya, adiknya Mamamun) dan kadang kakek dan nenek saya yang mengaji.
Sms terakhirnya masih ada di hp saya, dia minta dikirimi pulsa 25ribu untuk dibayar nanti. Saya tidak membalasnya saat itu. Saya menyesal tidak mengiriminya pulsa saat itu, juga tidak membalasnya.
Sebelum meninggal ia dibawa ke RSUD Banten dekat rumah kami. Ia dirawat disana 10 hari, kemudian dibawa pulang ke rumah. Selang beberapa hari setelah dirawat di rumah, Mamamun dibawa kembali ke rumah sakit (24/11), kali ini ke RSU Serang yang letaknya dekat alun alun Serang, cukup jauh jika dari rumah kami. Tapi karena RS itu telah lebih lama berdiri dibandingkan RSUD Banten, keluarga kami berharap disana Mamamun bisa mendapat perawatan yang lebih intensif.
Saya menyesal ketika menjenguknya dua kali di RSUD Banten saya tidak begitu menanggapi serius penyakit yang ia derita, yang menurut keterangan nenek dan mama sebut ‘saraf’. Saya katakan ke mama bahwa yang disebut saraf adalah bagian dari anggota tubuh kita, bukan nama penyakit.
Kemudian kang Maruf, yang biasa saya panggil Kang Ayup, kakaknya Mamamun memberikan penjelasan menurut dokter yang menyebutkan bahwa ada ‘flek’ di saraf otak Mamamun. Saat itu saya juga belum begitu khawatir akan penyakit ini. Saya rasa penyakit itu akan sembuh seperti Niah, adiknya yang juga sering sakit kepala berat namun hanya terjadi dalam beberapa waktu saja dan setelah itu pulih.
Rasanya masih belum percaya ia telah tiada. Sore ini mama menyuruh saya untuk meminta teh Susi, adiknya mama, tetehnya Mamamun, mengambilkan foto Mamamun yang sedang dirawat di RSU Serang. Tapi saya malah tidak memintanya, saya pikir karena teh Susi tidak punya aplikasi chat jadi kalaupun mau mengambilkan foto Mamamun, teh Susi harus pulang dulu untuk memberikannya pada saya, untuk diperlihatkan ke mama.
Kata mama semenjak di RSU Serang Mamamun diberikan pernafasan bantuan dengan selang yang mengalirkan oksigen. Ia mendapat kabar itu dari Kang Ayup. Mama ingin menjenguk juga tapi karena suatu alasan tidak bisa. Lalu sebagai gantinya saya perlihatkan foto2 Mamamun saat masih sehat di fb.
Kami sempat menertawakan kebiasaan Mamamun yang memposting foto2 yang ‘tidak lazim’, terutama untuk anak laki2 seusianya, seperti foto pisang satu tandan yang sebagian besar masih hijau, foto ubi warna oranye dan ungu yang sedang direbus, foto tiga buah (tidak berpasangan) yang berbeda warna,  serta foto2 dirinya sendiri yang tampak gagah.
Wajah Mamamun memang gagah. Mamamun juga anak yang penurut, selalu mematuhi apa pun yang diminta emaknya.Ia anak kasayangan emaknya, kesayangan nenek saya, kesayangan kita semua keluarga besarnya. Nenek hanya memiliki dua anak laki laki dan Mamamun adalah anak lelakinya yang bungsu. Dulu sewaktu SMP dan SMK ia hampir selalu jadi pasukan pengibar bendera (paskibra) saat upacara 17 Agustus di kecamatan.
Saya ingat dulu saat saya ospek di SMK, Mamamun jadi anggota tim disiplin (timdis). Bersama ka Bardan dan ka Topani, mereka bertiga terlihat sangat tegas dan juga berwibawa di waktu bersamaan. Setidaknya itu menurut saya.
 Ada hal yang lucu, saat ospek itu dia sedang ‘patroli’ di kelas saya bersama dua orang temannya itu untuk memperkenalkan diri bahwa mereka timdis, sekaligus juga anggota ekskul paskibra.
Usai memperkenalkan diri, tupoksi mereka di ospek dan ekskul paskibra, Ka Bardan lalu bertanya apa diantara kami (para peserta ospek) ada yang berminat mengikuti paskibra juga?
Ternyata yang berminat ada banyak sekali. Hampir semua teman kelas saya mengacungkan tangannya. Lalu ka Bardan meminta tiga orang diantara para peminat untuk maju ke depan untuk dites latihan dasar baris berbaris. Seingat saya, dulu yang maju ke depan adalah Atikah, Njun dan Ririn. Ririn ada di paling kanan deret itu, diikuti Njun dan Atikah yang ada di sebelah kirinya.
Ka Bardan lalu meminta mereka untuk menyiapkan barisan dengan aba aba ‘setengah lancang kanan’. Sebagai orang yang berada di paling kanan harusnya Ririn menjadi patokan dan diam, tidak ikut bergeser. Tapi yang terjadi justru Ririn malah ikut menggerakkan kakinya ke arah kanan sehingga Njun dan Atikah yang ada di sebelah kirinya mau tidak mau ikut ikutan bergeser ke arah kanan untuk menyamakan barisan hingga Njun berujar “Ih gimananya..??”.
Semua anak di kelas sontak tertawa melihat ketiga anak itu, yang sedang disiapkan untuk berderet lurus malah bergeser selangkah demi selangkah ke kanan. Ka Bardan, ka Topan dan Mamamun juga ikut tertawa, meski saat itu saya lihat Mamamun hanya tersenyum. Haha saya memang hampir tidak pernah melihatnya tertawa.
Sore ini Bapa saya ke rumah sakit bersama kang Anan, suami teh Susi ke RSU Serang. Kecuali saat berdagang, Bapa sangat jarang membawa hp nya saat keluar rumah.
Sekitar 20 menit setelah Bapa pergi, HP bapa berbunyi. Saya harus mencarinya terlebih dahulu karena Bapa biasanya menyimpannya di tempat yang tidak biasa agar adik2 saya yang masih kecil tidak bisa menjangkaunya.
Setelah saya mendapatkannya, saya lihat di layar adalah Ma’ruf, Kang Ayup! Tapi begitu saya mau menekan tombol angkat telepon, panggilan malah disudahi.
Jujur saya tidak punya firasat apa pun saat itu. Tapi mama sangat khawatir. Mama lalu meminta saya menelepon balik ke kang Ayup. Tapi hp Bapa tidak ada pulsanya.
Kemudian teh Yanah, istri kang Ayup datang bertanya “tadi kang Ayup nelpon ya? Gimana trus kabarnya??”.
Saya lalu ke kamar untuk mengambil hp saya lalu segera menghubungi kang Ayup. Langsung diangkat tapi tidak banyak yang bisa diucapkan karena beberapa detik setelah mama bilang ‘Halo’, telepon langsung terputus. Pulsa saya juga habis!
Tak lama setelah itu ada pak Yanto, tetangga yang selalu membantu keluarga kami mengantarkan Mamamun ke dan dari rumah sakit mengetuk pintu samping. Karena pintu samping terkunci dan kuncinya dibawa Bapa kami jadi tidak bisa membukanya.
Mama lalu menyuruhnya masuk dari pintu depan. Saya tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan karena saat itu saya sedang mengerjakan pekerjaan yang selalu dilakukan Bapa setiap malam.
Setelah bertemu dengan pak Yanto itu, mama masuk ke rumah dengan wajah yang tampak pucat. Saya mulai khawatir saat itu. Tapi entah mengapa yang saya khawatirkan justru Bapa, saya khawatir Bapa mengalami kecelakaan saat di jalan.
Lalu mama berkata ke teh Yanah, “Tadi disuruh siap2 di rumah idul (rumah selatan/rumah nenek saya), tapi saya disuruh disini aja. Saya tanya, ‘siap2 apa, pak?’ trus pak Yanto bilang, ‘Mamun udah ga tertolong’. Innalillahi..”.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un..
Seketika saya dan teh Yanah beruap istirja’.
Beberapa menit kemudian datanglah mobil hitam bertuliskan mobil jenazah di sebelah kirinya. Tidak ada bunyi sirine. Saya dan mungkin sebagian besar orang kurang suka suara itu. Cukup melihat mobilnya saja sudah membuat saya bergidik takut.
Ya Allah semuanya memang milik Engkau.. tiada kuasa kami untuk tetap memiliki apa yang sebenarnya milik Mu.
Jadi ingat caption foto Corbizer yang kurang lebih begini, ketika kita memilih bunga di taman, kita pasti memilih bunga yang paling cantik. Pun demikian Tuhan ketika memilih jiwa diantara banyak makhluknya, Ia PASTI memilih yang terbaik.
Sekarang Mamamun sudah tidak ada. Ia sudah tenang. Semoga setiap dosanya telah gugur selama ia jatuh sakit sebelum Izroil tiba menjempunya petang ini.
Saya sebagai keponakan Ma’mun meminta maaf atas nama almarhum apabila ia memiliki salah baik sengaja maupun tidak disengaja. Mohon doa juga dari teman2 agar semua amal ibadah almarhum diterima Allah subhanahu wa ta’ala. Aamiin.

23.52 /25112016
Siti Maesaroh

0 comments:

Post a Comment