Thursday, April 23, 2015

Kari Burung Dara dan Nasihat Memasak dari Mama

Pada hari Jumat, 17 April 2015 lalu tidak seperti biasanya, aku memasak. Pagi itu, mama masuk rumah dengan terburu-buru dan menghampiriku yang sedang menonton televisi.
“Mama tadi diajak nenekmu ke nujuh wulan teh Sari. Jadi kamu hari ini masak ya!” kata mama lalu meletakan keranjang belanja berisi sayur yang dibelinya dari warung di atas meja di depanku, lalu langsung masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.
“Ha?” aku pura-pura tidak mendengar. Setelah sekian detik tidak ada jawaban aku bertanya lagi, “Bumbunya apa aja, ma?”, lalu “Mama bikinin bumbunya, dong!”
Kulihat mama melihatku namun tak memberi jawaban apa pun. Mungkin dalam hatinya mama berujar, “Yaampun ini anakku udah umur 20 tahun lebih kalo disuruh masak pasti tanya bumbunya apa sama minta dibikinin bumbunya -_-“
Mama lalu pergi bersama kedua adik kembarku, Alfa dan Falah ke acara syukuran kehamilan teh Sari, salah satu keponakannya, yang ke tujuh bulan.
~
Setelah mereka pergi, barulah kuihat isi keranjang belanja mama. Isinya ternyata sayur campur berupa oncom, daun melinjo muda, sepotong labu air, tauge dan wortel. Aku lalu membawanya ke dapur. Setelah mencuci dan memotong-motongnya, tibalah saat dimana aku harus meracik bumbu untuk sayur campur itu: hal yang paling tidak (belum) bisa kulakukan.
Aku melihat tempat bumbu-bumbu dapur biasa diletakan. OMG!! Ternyata disana hanya tersisa bawang putih, tomat, cabai rawit, cabai merah, kemiri dan sepotong jahe! Apa-apaan ini?? Mana bawang merahnya?! Pikirku.
Sejujurnya, selain jarang memasak, aku juga sangat jarang ke warung. Warung terdekat dari rumah (persis di sebelah kanan rumahku) tidak menjual sayur dan bumbu dapur basah. Warung yang menjual sayur dan bumbu dapur basah tempat biasa mama beli jaraknya cukup jauh dari rumah. Aku jadi agak malas untuk kesana. Apesnya lagi saat aku ke warung sebelah untuk membeli bumbu dapur instan, ternyata semua anggota keluarga pemilik warung sedang keluar rumah dan otomatis warung ditutup. Aku kembali ke rumah dengan lesu.
Aku melihat kembali tempat bumbu-bumbu dapur biasa diletakan. Oke, mau tidak mau, enak tidak enak aku akan memasak dengan bumbu-bumbu yang ada. Aku memutuskan menggunakan satu siung besar bawang putih, dua buah cabai merah, tiga buah cabai rawit merah, sepotong (kurang lebih ½ cm) jahe, beberapa butir kemiri (kurasa 4 butir) dan satu buah tomat ukuran sedang. Terserah itu akan membuat masakanku enak atau tidak, yang terpenting aku sudah memasaknya, pikirku. Disela aku meracik bumbu, kulihat ada dua potong tempe di atas rak. Aku mengambilnya, lalu memotongnya dan kubagi menjadi dua jenis potongan. Potongan pertama seperti untuk orek tempe, yang akan digunakan sebagai campuran tumis sayur campur yang bumbunya sedang kubuat. Potongan kedua untuk digoreng seperti tempe mendoan, hanya saja tak bertepung. Kusiapkan air garam juga untuk tempe yang hendak kugoreng itu agar rasanya tidak hambar.
Bumbu sudah siap, tempe untuk kugoreng juga sudah tercelup di air garam. Saatnya aku masak!
Tapi tiba-tiba, di saat aku sudah bersiap untuk memanaskan wajan, papa pulang dari pasar. Kulihat ia membawa dua kantong plastik hitam yang ternyata di dalamnya berisi ikan lele di satu kantong, cabai merah dan cabai rawit di kantong lainnya. Tunggu.. What?! Mana bawang merahnya?! pikirku.
“Nih dicuci trus langsung dimasak ya!” kata papa sambil menyerahkan dua kantong itu kepadaku.
“Gak beli bawang merah, pa?”
“Nggak. Harganya mahal, seperempatnya delapan ribu lebih. Udah masak dengan bumbu seadanya aja, ya!”
“Heem..” kataku lalu bergegas untuk menyimpan cabai merah dan cabai rawait itu ketempatnya. Aku mengambil baskom untuk mencuci ikan lele, memasukan lele-lele itu beserta air kedalamnya.
Aku agak bingung. Itu pertama kalinya aku mencuci ikan lele. Karena lele tidak bersisik, apa yang harus aku bersihkan? Saat itu aku lupa bahwa bagian dalam ikan (jeroan) biasanya berasa pahit dan harus dikeluarkan. Itu adalah salah satu kesalahan memasakku di hari Jumat itu dimana jeroan ikan lele itu sama sekali tidak kubuang. Pada waktu itu aku hanya mencucinya beberapa kali agar tidak terlalu berlendir dan licin. Setelah kurasa bersih, aku mengeluarkan semua air yang ada di baskom ikan lele lalu menaburkan garam kedalamnya. Aku lalu menampiknya agar garam bisa merata ke semua ikan lele itu. Kunyalakan kompor, kutempatkan wajan di atasnya dan kutuangkan minyak goreng kedalam wajan.
Haah..akhirnya semuanya siap untuk dimasak!, batinku.
Proses memasak sebenarnya tidak sulit. Seperti yang telah kuungkapkan di atas, bahwa kelemahanku adalah aku tidak bisa meracik bumbu, itu saja, pikirku saat itu. Mungkin akan lain cerita jika bumbu di dapur rumahku komplit, aku bisa saja mencotek resep tumis sayur campur yang ada di internet.
Aku menunggu minyak goreng itu panas. Ketika kurasa panas, aku teringat kata mama, bahwa minyak goreng bekas menggoreng ikan akan lebih keruh daripada bekas menggoreng tahu dan tempe. Aku tidak mau tempe gorenganku (yang mungkin saja tidak gosong) berwarna gelap hanya karena aku menggorengnya dengan minyak pasca menggoreng ikan. Jadi aku memilih menggoreng tempe terlebih dahulu, baru menggoreng ikan lele.
~
fried tempeh that I made :)
Selesai menggoreng tempe, aku menambahkan minyak kedalam wajan saat kulihat minyak goreng di wajan itu hanya tinggal sedikit, lalu menunggunya kembali panas. Tak lama berselang aku sudah memasukan lima ekor lele kedalamnya.
Ahh! Mengapa lele-lele itu bergelung, melingkarkan tubuhnya!? tanyaku kesal dalam hati. Seingatku, itu juga pertama kalinya aku menggoreng ikan lele. Jadi aku agak bingung dan panik. Kalau begitu bagaimana cara untuk membalik bagian dalam gelungan lele itu??, pikirku.
Aku tipikal orang yang tidak bisa diam. Saat memasak apa pun, aku suka sekali membolak-balikannya. Kamu kalo masak kayak anak-anak main masak-masakan, dibolak-baliik terus, begitu komentar mama tentang gaya memasakku. Padahal kata mama juga, kalau memasak ikan jangan dulu dibalik sebelum bagian bawahnya benar-benar kering karena kalau tidak kulit ikan tersebut akan mengelupas atau bahkan badan ikan akan hancur. Di hari itu, aku mengabaikan nasihat memasak mama itu (lagi). Aku mencoba membalik ikan itu namun hanya setengah bagian badannya yang terangkat, setengahnya lagi masih menempel di wajan. OMG!! Ya Gusti.. Gimana nihh???
Hasil gorengan ikan lele yang pertama hancur, ikan lele-lele itu tidak berbentuk seperti lele yang ada di warung pecel lele di pinggir jalan. Beberapa kepala ikan lele itu terlepas dari badannya. Sebagian jeroannya malah berhambur keluar dari tubuh sang lele. Saat itu aku baru ingat harusnya aku membuang jeroannya! Namun saat kuiingat bukannya membersihkannya terlebih dahulu, aku malah melanjutkan menggoreng. Kupikir orang yang nanti makan lele gorenganku juga pasti bisa memisahkan lele dengan jeroannya yang terasa pahit itu : satu kesalahan mamasakku yang berikutnya.
Aku melanjutkan menggoreng ikan lele. Sebisa mungkin aku berusaha menahan diri untuk tidak membaliknya agar bentuk ikan lele itu tetap utuh. Berhasil. Gorengan ikan lele berikutnya meski bergelung tapi berbentuk utuh, namun ternyata..setelah lama ditiriskan nampaklah bahwa ikan lele gorenganku itu masih agak basah atau tidak terlalu kering. Sudah matang sih, tapi biasanya mamaku menggorengnya hingga kering dan itu menurutku lebih baik dan lebih enak untuk dimakan. Sayangnya, aku baru menyadarinya saat aku sedang menumis bumbu untuk sayur campur buatanku.
~
ini lele hasil gorenganku :)
Last one but the least adalah menumis sayur campur. Setelah bumbu tumisnya harum, aku memasukan sayur-mayur itu kedalam wajan, mengaduknya hingga rata dengan bumbu, barulah menambahkan air kedalamnya dan mengaduknya lagi. Kata mamaku begitu, jadi kalau sayuran berair seperti sayur campur itu ditumis, masukan sayurnya terlebih dahulu setelah bumbunya masak barulah masukan air, agar bumbu tumisnya lebih meresap ke sayur yang kita masak, katanya.
Sambil menunggu sayur matang aku mencicipi tempe goreng dan ikan lele goreng buatanku. Menurutku rasa asinnya pas, hanya saja tekstur ikan lele yang tidak terlalu kering agak membuatku sebal. Yasudahlah, aku sudah berusaha menggorengnya, kalau ada yang tidak mau ya biar saja hanya aku yang makan, pikirku. Setelah tumis sayur campur itu matang aku membawanya ke meja makan dan menutupinya dengan tudung. Aku lalu kembali ke ruang keluarga untuk menonton televisi.
tumis sayur campur buatanku :)
Aku baru saja menyalakan televisi ketika kudengar kedua adik kembarku saling berteriak, mungkin sedang memperebutkan sesuatu. Mereka sudah pulang.
“Assalamu’alaikum.. Wah, sepi banget. Nurul belum pulang ya? Masaknya udah belum, teh?” tanya mamaku.
“Wa’alaikum salam.. Iya, Nurul belum pulang, kalo masak sih udah ma”
“Cie.. anak mama hari ini masak nih.. hehe.. Nih dimakan..” kata mama sambil menyerahkan rujak buah khas acara nujuh wulan di daerahku. Aku menerima  lalu memakannya sementara mama berganti pakaian, ia lalu mengajak adik-adikku keluar rumah, mungkin ke rumah nenek yang ada di seberang rumahku.
~
Ketika aku sedang makan rujak buah, tiba-tiba nenekku datang ke rumah sambil menenteng satu kantong plastik hitam.
“Nih ada burung dara muda yang hampir mati gara-gara mau dimakan kucing tapi gak sampe mati.. Udah disembelih sama kakekmu. Dimasak ya, May! Nenek lagi gak enak badan buat masaknya.”
Aku sempat bengong melihat burung itu. What?? Bagaimana cara memasaknya?
“Mama ada di rumah nenek ya?”
“Iya. Udah cepet sana dimasak! Dibakar aja.. ada gak arangnya?”
Boro-boro arang, minyak sayur aja udah abis, jawabku dalam hati namun kujawab “Iya ada. Nanti aku tinggal masak sama kayu aja di belakang”
“Yaudah nenek pulang ya..”
Nenekku lalu pergi meninggalkanku bersama burung dara yang diperintahkannya untuk dimasak.
Ini juga pertama kalinya juga aku memasak burung dara. Hmm.. ayam juga belum pernah sih kalau dimulai dari mencucinya. Saat itu aku langsung berfikir untuk memasak air menggunakan tungku kayu yang ada di belakang rumah. Seingatku setelah membersihkan darah yang tampak dengan air dingin, mama biasa merendam ayam di air hangat agar bulu-bulu yang ada di badannya mudah dicabut. Aku akan mengikuti langkah-langkah itu.
Setelah api di tungku berhasil kubuat, aku mencuci burung dara itu, membersihkan darah yang ada di lehernya. Tak kusangka, pada saat mencucinya aku mencoba mencabut bulunya dan ternyata bisa! Mungkin karena burung dara itu masih muda, sehingga bulu-bulunya mudah untuk dicabut. Mulailah kucabuti bulu-bulu yang ada di badannya hingga bersih.
Setelah kupikir bersih, aku menyayat bagian dada burung dara itu, untuk mengambil jeroannya lalu kubersihkan juga jeroan itu. Kubuang bagian kerongkongan dan ususnya yang masih sangat kecil karena kulihat warnanya agak kehitaman, bagian itu kurasa terasa pahit sehingga aku membuangnya. Setelah bersih total aku kembali ke tungku. Semula aku berniat memanggangnya begitu saja, namun setelah kulihat bara apinya masih sangat sedikit aku urungkan niat itu.
Aku lalu membawa burung dara yang siap masak itu kembali ke dalam rumah. Seperti yang tadi kukatakan, di dapurku sedang ‘tidak ada apa pun’. Maka aku memutuskan untuk mengungkepnya hanya dengan bawang putih satu siung besar, cabai rawit > 20 buah (aku lupa tepatnya) dan garam. Aku mencari-cari merica bubuk di meja makan yang seingatku masih ada. Ternyata benar masih ada. Merica bubuk itu aku dapat dari kuis #KejutanRasa yang diselenggarakan oleh Jelajah Rasa pada akhir Agustus 2014 lalu yang aku ikuti. Merica bubuk, cuka, bumbu Ayam Goreng Rempah, baking powder, dan beberapa bumbu dapur Koepoe-Koepoe lainnya yang merupakan merchandise yang diberikan Jelajah Rasa.
Aku lalu menumis bumbu ungkep yang tadi aku buat di wajan. Setelah harum dan agak menusuk hidung (hingga membuatku terbatuk-batuk), aku memasukan air kedalamnya, menunggunya hingga mendidih, lalu kumasukan burung dara muda itu kedalamnya. Kububuhkan merica bubuk di atas ayam itu. Aku sebenarnya belum tahu banyak tentang memasak dengan cara ungkep ini. Aku hanya pernah sekali membaca resep yang ada di kemasan bumbu racik Koepoe-Koepoe yang kuingat. Kutunggu airnya tinggal sedikit dan bumbu ungkep buatanku meresap ke dalam daging si burung dara.
Aku mencicipi kuahnya. Rasanya enak dan pedas sekali. Kalau begini pasti hanya aku dan mama yang mau makan karena papa dan adik-adikku tidak suka pedas. Aku lalu ingat bahwa di meja makan tadi juga masih ada cuka dari Jelajah Rasa. Aku ingat kata mama, bahwa rasa asam pada cuka bisa menetralisasi rasa pedas. Aku pun mengambilnya dan menambahkan satu sendok cuka pada air ungkepan itu. Setelah diaduk, ternyata benar. Rasa air ungkepan itu kini tidak begitu pedas dan ada rasa asam segar saat mencobanya. Aku lalu menambahkan telur ayam yang aku pecahkan di pinggirnya.
Rencana awal ingin membuat burung dara bakar atau burung dara goreng-ungkep gagal karena pada akhirnya, aku malah membuat ‘kari burung dara dan telur’ yang bahan-bahannya disesuaikan dengan kondisi bumbu dan rempah di dapurku. berkat bumbu racik buatanku yang ditambahkan lada bubuk dan cuka dari Jelajah Rasa, rasanya jadi enak sekali, asam pedas segar. Tekstur burung dara yang empuk hingga ke tulangnya membuat adikku bahkan memakan daging burung dara hingga ke tulangnya.
~

kari burung dara dan telur made by chef Mae ^^
Pada akhirnya masakan yang aku buat dari mulai tempe goreng, ikan lele goreng, tumis sayur campur hingga kari burung dara dan telur semuanya itu terasa enak (menurutku).  Keluargaku juga ikut memakannya (mungkin karena tidak ada makanan lain :D). Aku jadi sangat puas karena telah memasak untuk keluargaku di hari itu (semoga kedepan aku bisa lebih sering dan lebih jago memasak!). Meski di hari itu aku memasak sendiri dan memiliki banyak keterbatasan tapi memasak di hari itu sungguh hal yang menyenangkan sekali :D





***
updated:
maaf kalau foto2nya kurang bagus hape saya kurang bagus soalnya..hehe
maaf juga fotonya kurang banyak dan waktu proses memasak tidak saya foto karena saya tidak sempat foto2 sambil memasak :):)

0 comments:

Post a Comment