Tuesday, January 26, 2016

Tersesat oleh Teknologi

Saya tipikal orang yang pendiam, saya tidak pandai berbasa-basi dengan orang. Oleh karena itu kadang hal-hal yang saya ucapkan cenderung lebih lugas, terkesan serius (meski kadang yang saya maksudkan hanya bercanda), apa adanya dan terlalu jujur. Kadang hal itu menyebabkan saya agak sukar untuk menjalin hubungan dengan orang baru. Beberapa orang yang belum begitu mengenal saya dengan baik bahkan kurang menyukai gaya berbicara saya yang lebih sering blak-blakan.
Seperti kebanyakan orang pendiam, saya lebih sering berpikir dan mencari tahu banyak hal ‘sendiri’ daripada bertanya. Saya hanya akan bertanya kepada orang secara langsung jika hal itu tidak bisa atau tidak sempat saya cari di google, twitter, buku atau sumber informasi lainnya kecuali manusia. Hehe.. aneh sekali ya, saya?
Di dalam kelas, meski saya pendiam kadang-kadang saya cukup aktif untuk bertanya kepada dosen, apalagi jika diiming-imingi, siapa yang bertanya akan mendapat tambahan nilai. Yes! Jadilah hampir seluruh anak di kelas termasuk saya, berebut angkat tangan untuk bertanya. Tapi sejujurnya, butuh keberanian ekstra bagi saya untuk bertanya, karena selain pendiam saya juga agak pemalu. Malu karena suatu alasan yang bahkan oleh diri saya sendiri tidak bisa dimengerti.
Bersyukur saya yang memiliki sifat yang agak pemalu dan pendiam lahir di generasi Y. Sebuah generasi yang katanya tinggal menikmati berbagai kecanggihan teknologi dan hanya tahu secuil perkembangan teknologi tersebut. Ingin tahu apa saja dan ingin pergi kemana saja saya cukup mencarinya di mesin pencari Google. Terkadang tak perlu mengetik, cukup berbicara di Google now (mirip Siri di iPhone) hasil penelusuran pun segera didapatkan. Benar-benar bermanfaat dan memudahkan.
Namun meski demikian, jangan pernah terlalu mengandalkan teknologi jika hendak berjalan-jalan ke daerah yang terpencil ya! Saya punya pengalaman hampir tersesat karena terlalu percaya pada mesin pencari dan malu malas untuk bertanya. Kejadian ini terjadi di akhir bulan Desember 2015 lalu, masih sangat segar dalam ingatan.
Pagi itu, saya bersama 6 orang lain pergi melakukan perjalanan menuju sungai Ciberang, Kabupaten Lebak-Banten guna melakukan survey wisata arung jeram yang baru dibuka beberapa tahun silam di lokasi tersebut. Kami yang terdiri dari lima orang perempuan dan dua orang laki-laki pergi kesana dari kota Serang dengan menggunakan mobil sekitar pukul 8 pagi.
Fun Travel Team :D

Hanya ada satu orang diantara kami yang mengetahui bagaimana arah dan kondisi jalan menuju kesana karena ia dulu pernah tinggal di Rangkasbitung, ibukota Kabupaten Lebak. Namun karena selama di perjalanan ia lebih fokus membaca Al-Quran, perjalanan kami kesana lebih mengandalkan Google maps yang ada di smartphone android saya. Saat itu kami mungkin begitu bangga menjadi generasi Y, yang meski belum pernah ke suatu tempat sekali pun tapi sangat pede dan berani untuk pergi kesana. Dari google maps diketahui bahwa perjalanan Serang-sungai Ciberang akan memakan waktu kurang lebih satu setengah jam.
Perjalanan lancar jaya sampai kami tiba di alun-alun Rangkasbitung. Dengan tetap berpedoman pada Google maps kami terus melanjutkan perjalanan menuju sungai Ciberang. Sedikit demi sedikit pemandangan berubah. Dari yang sebelumnya berupa rumah-rumah penduduk, kemudian sawah-sawah, lalu kami memasuki kawasan hutan daerah Lebak. Meski di sekitar jalan berupa tebing, hutan dan pegunungan namun jalan raya yang kami lalui sangat mulus, nyaris tidak ada bagian jalan yang rusak.
Video perjalanan kami :)

Beberapa kali kami harus berbalik arah karena terlewat dari belokan jalan yang menurut ‘mbah Google’ harusnya kami masuki. Hingga kami tiba di jalan kecil menurun yang cukup curam, hasil pedoman dari mbah Google juga. Agak was-was kami melaluinya. Sementara teman kami Tiara, yang lebih mengetahui jalan menuju sungai Ciberang mengaku bingung karena ia baru sadar jalan yang sedang kami ambil saat itu berbeda dari jalan yang biasa ia lalui.
Karena sudah terlanjur mengikuti petunjuk yang diberikan google maps, perjalanan pun tetap dijalanjutkan dengan mengikuti peta online itu. Sampai kami tiba di sebuah perkebunan kelapa sawit. Saya tidak menyangka bahwa di daerah Banten juga terdapat perkebunan sawit yang sangat luas. Jalan yang kami lalui di dalam perkebunan tidak bagus. Saat itu, teman kami yang bertugas menyetir mobil sampai memaki ‘keangkuhan’ kami yang lebih mempercayai google maps daripada bertanya langsung kepada penduduk setempat. Akibatnya kami harus melewati jalan yang rusak dan terjal di perkebunan sawit itu.
Beruntung saat itu ada seorang pengendara motor yang melintas, kami pun berusaha menghentikannya. Setelah pengendara itu berhenti, kami bertanya arah jalan menuju tempat wisata arung jeram Ciberang. Sungguh tak disangka, ternyata jalan menuju tempat wisata itu berlawanan arah dengan jalan yang ditunjukan di Google maps (dengan kata kunci ‘Ciberang’)!
Pengandara motor itu pun pergi setelah membantu kami menunjukan arah jalan menuju Ciberang.

“Sekarang ga usah pake peta Google lagi ya. Tanya-tanya sama orang-orang yang kita temuin di pinggir jalan aja”, kata Dimas yang bertugas menyetir mobil yang kami tumpangi dengan raut muka agak kesal. Maklum, medan di perkebunan sawit itu memang cukup berat apalagi bagi dia yang katanya baru beberapa bulan bisa menyetir mobil.
“Oke.. Maaf ya, Dim”, kata kami semua lirih.

Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan pedoman baru dari Bapak pengendara motor. Pertama kami harus keluar dari perkebunan sawit yang luas ini dengan mengikuti jalan yang sama dengan Bapak itu.  Kemudian setelah sampai di jalan raya, kami harus berbelok ke kanan. Seperti jalan raya yang kami lalui sebelum kebun sawit tadi, jalan raya setelah kebun juga bagus dan relatif lebih sepi, hanya ada satu-dua kendaraan yang melintas.
Kami memutuskan untuk tidak menggunakan Google maps lagi. Karena ‘kesalahan’ Tiara, sang juru arah jalan ke Ciberang yang selama perjalanan sebelumnya lebih fokus membaca al-Quran, kami kemudian ‘menghukumnya’ untuk bertanya kepada orang-orang yang kami temui di pinggir jalan mengenai arah tujuan kami.
Setelah empat jam lebih akhirnya kami tiba di tempat wisata arung jeram Ciberang. Perjalanan yang amat melalahkan tapi juga berkesan, karena kami hampir tersesat (hehehe). Dengan perjalanan ini kami jadi tahu, bahwa sehebat apa pun teknologi yang ada saat ini, peribahasa ‘(Orang yang) malu (dan malas) bertanya (pada orang. Pasti bakal ter-) sesat di jalan’ masih valid dan tetap berlaku. Apa lagi jika kita berada di daerah-daerah terpencil, yang selain belum semua akses jalannya terindeks oleh mesin pencari, juga karena di daerah seperti ini signal yang bisa kita dapatkan amat terbatas. Oleh karena itu, jika ingin bepergian ke daerah terpencil, jangan lagi malu (dan malas) untuk bertanya, karena jika mau bertanya, pasti nggak sesat di jalan!
Yuk biasakan diri untuk bertanya! :D

0 comments:

Post a Comment